Korelasi Antara Emosi, Pikiran, Dan Organ Vital

Semua penyakit terkait dengan pikiran dan emosi, itu hukum mutlak dalam shamanic healing, tidak ada penyakit yang berasal dari fisik saja, itu sebabnya pedomannya adalah 'tubuh, pikiran, dan jiwa'
Ada lima organ yang utama dalam tubuh yaitu jantung, limpa, ginjal, hati, paru - paru, yang masing - masing terkait dengan kebijaksanaan diri dan emosi

Lihat tabel terlampir :

1. Jantung - terkait dengan sifat damai, memaafkan, dan cinta, ini adalah kebijakan tertinggi dalam diri, maka dalam 5 virtue ini ditempatkan dalam urutan pertama, ini mewakili sifat "chi"
Orang yang sulit memaafkan, tidak bersifat damai, kurang kadar cinta dalam diri (secara keseluruhan, ini adalah sifat tidak menerima kenyataan hidup) akan berpotensi mengalami masalah dengan jantung.
Mudah merasakannya kalau mau teliti, jika anda merasakan kedamaian, cinta, jantung anda akan berdetak stabil dan cenderung lambat, sebaliknya jika anda tidak terima kenyataan, jantung berdetak keras dan cenderung tidak stabil (berdebar).
Jantung berdebar ibarat mesin yang diforsir untuk menggunakan seluruh kekuatan, jika terjadi sering kali, jelas itu mengurangi usia pakainya, masalah jantung akan terjadi cepat atau lambat.

2. Limpa - organ ini berfungsi sebagai penyaring sel darah merah, penyimpan cadangan darah merah, penyimpan sel darah putih, maka terkait erat dengan sistem kekebalan tubuh. Limpa juga terkait dengan sistem getah bening.
Organ ini terkait dengan sifat kepercayaan, keterbukaan, dan ketegasan / ketetapan hati. Orang yang sulit percaya apapun, tidak terbuka, tidak memiliki ketegasan, cenderung berpotensi mengalami masalah dengan limpa.
Sangat penting untuk memandang segalanya dengan obyektif, kepercayaan, keterbukaan, dan ketegasan adalah sebuah 'paket' sifat yang masing - masing saling memfilter satu sama lain.

3. Ginjal - berfungsi menyaring darah, membuang racun, dan menjaga kestabilan keseluruhan cairan dalam tubuh, maka ginjal sangat terkait dengan sistem pembuangan urine.
Organ ini terkait dengan sifat integritas / ketangguhan, kebajikan / kebenaran, dan keberanian. Pola pandang terhadap kehidupan sangat berpengaruh terhadap kesehatan ginjal. Itu sebabnya ginjal ada dua buah, itu lambang keseimbangan dalam pola pandang kita terhadap semua hal.

4. Hati - berfungsi sebagai penawar racun, mengatur sirkulasi hormon, menyaring gula, dan menghasilkan cairan untuk empedu. Hati sangat terkait dengan hormon, dengan kata lain emosi berbentuk apapun, semua dialirkan melalui hormon.
Organ ini terkait dengan kebijaksanaan, kekuatan kehendak, dan akar dari kehendak, itu sebabnya orang selalu mengatakan, kebijaksanaan manusia itu tergantung kondisi hatinya.
Kehendak yang bijaksana, itu adalah kondisi ideal seorang manusia, ketidakbijaksanaan membawa potensi kerusakan organ hati, itu sebabnya, kita harus sangat bijaksana dalam membawa diri dalam kehidupan.

5. Paru - paru - berfungsi untuk menukar oksigen dari udara dengan karbondioksida dari darah (hasil pembakaran), maka paru - paru adalah organ sangat vital yang terkait dengan nafas.
Organ ini terkait dengan sifat kesabaran dan kebaikan, itu sebabnya orang jaman dulu selalu mengaitkan kesabaran dengan mengelus dada. Orang yang kurang sabar dan kadar kebaikannya rendah, cenderung mengalami masalah dengan paru - paru.

Baca juga :

, ,

Jika dilihat secara keseluruhan, korelasi antar semua organ itu terkait dengan kemampuan diri untuk melepaskan keterikatan pikiran dan kebijaksanaan diri. Dengan kata lain, kesehatan fisik sangat terkait dengan KESEMPURNAAN dan KESEJATIAN diri sebagai manusia, semakin kembali ke kesejatian kita semakin sehat.

Apapun penyakit yang muncul dalam diri, selalu terkait dengan bagaimana kita menyeimbangkan diri untuk mencapai kesejatian itu. Ketidakalamian dan ketidakbijaksanaan menciptakan potensi kerusakan pada organ - organ dalam tubuh kita sendiri. Itu sebabnya dalam ajaran - ajaran leluhur, kehidupan adalah sepenuhnya tanggung jawab diri sendiri.

Jika kita bicara kesempurnaan dan kesejatian diri lebih dalam lagi, ini juga terkait dengan moksa, HANYA TUBUH SEMPURNA YANG BISA DIKONVERSI KE TUBUH ETHERIC. Tubuh dengan organ - organ yang telah rusak tidak akan bisa nengalami kondisi moksa tertinggi, itu sebabnya para leluhur sangat peduli akan keseimbangan diri, karena tujuan mereka adalah kesempurnaan dan kesejatian, maka fisik menjadi tanggung jawab diri sendiri untuk dirawat tiap saat, karena itu milikmu.
Tetapi di jaman modern tentunya kita harus melihat juga faktor eksternal, dalam hal ini makanan / minuman, kondisi kita berbeda dengan kondisi kehidupan masa leluhur. Makanan kita sangat beragam, tidak semuanya makanan yang alami atau menyehatkan, tapi cenderung mengandung toxic lebih banyak kadarnya. Maka makanan dan minuman menjadi salah satu faktor utama yang menentukan kesehatan organ.

Apa yang dijelaskan diatas adalah keilmuan pengobatan dasar yang dikembangkan leluhur Asia, sistem pengobatan ini paling banyak dibukukan di China, tetapi semua peradaban Asia memiliki sistem pengobatan sama, berkembang menjadi akupuntur, herbal healing, dll, maka sekali lagi kesehatan mencakup aspek tubuh, pikiran dan jiwa.





BLACKHOLE Dalam Diri - Tungtung Renghap / Rlung - Ta / Khimorii / Tan Tien



"Pikiran dan tubuh adalah antena (transmitter dan receiver), ketika kita mampu mematangkan dan mengendalikan pikiran, maka kita mampu menciptakan apapun dengan pikiran"

Istilah windhorse digunakan dalam berbagai ajaran spiritual Asia tengah dan utara, orang - orang Tibet menyebutnya sebagai "rlung-ta", orang - orang Mongolia menyebutnya sebagai "khiimorii", dua istilah itu sama artinya. Bisa didefinisikan sederhana sebagai "energi alam semesta dari 4 penjuru mata angin", tubuh dan pikiran kita adalah antena yang menjadi pusat dari semua aliran energi itu.

Windhorse dilambangkan dengan bentuk kuda sebagai center point, sedangkan energi dari 4 penjuru mata angin dilambangkan dengan 4 hewan besar yaitu naga, garuda, macan putih, singa salju. Lambang ini adalah analogi dari tubuh dan pikiran kita sebagai pusat dari semua aliran energi alam semesta.

Ketika kita mampu mengendalikan pikiran dan tubuh sebagai antena, maka diri kita adalah 'receiver' yang menerima semua aliran energi itu dari alam semesta. Begitu juga tubuh kita adalah 'transmitter' yang mengalirkan semua energi yang kita terima dari alam semesta. Maka kita adalah ibarat kuda yang menggunakan energi dari naga, garuda, macan putih, singa salju, dengan kata lain apapun bisa dilakukan.

Memahami windhorse artinya memahami spesifikasi diri sendiri dan pikiran dengan sempurna, ini bisa diresapi dengan menganalisa bagaimana tubuh dan semua organ tubuh berfungsi karena aliran energi alam semesta. Pernahkah menyadari detak jantung?

Dalam aktivitas apapun, jantung akan selalu berdetak, dan kita cenderung tidak menyadarinya, karena jantung berdetak bukan atas kontrol pikiran sadar, tetapi roh alam semesta sendiri yang mengendalikan itu. Dari mana energinya? Itulah yang kita debut sebagai windhorse, energi alam semesta yang menggerakkan jantung untuk berdetak, sedangkan alam bawah sadar hanya terkoneksi dengan energi yang mengendalikan berapa tempo detakan itu.

Sedangkan semua organ tubuh kita yang lainnya bisa dikatakan berada dalam kontrol alam bawah sadar. Itu sebabnya jantung selalu disebut sebagai lambang hidup, Sang Hidup itu sendiri yang menghidupkan jantung kita. Leluhurmu selalu mengungkapkan bahwa kita adalah Sang Hidup itu sendiri, maka semua kebenaran sejati selalu ada dalam diri kita.

Proses itu berlaku untuk semua organ dalam tubuh kita, paru - paru, lambung, hati, ginjal, limpa, pankreas, dll, artinya tubuh kita memang tiap saat menggunakan energi alam semesta, dalam kondisi tidurpun dimana pikiran sadar kita tidak aktif, alam bawah sadar selalu bekerja mengatur semua gerakan dari organ berbeda.

Lebih dalam lagi, tiap organ bergerak dengan sistem mekanisme yang berbeda - beda, gerskan lambung berbeda dengan gerakan paru - paru, jantung, dll, semua gerakan berbeda itu yang membentuk sistem dengan hasil kerja berupa fisik yang berfungsi optimal.

Menganalisa proses aliran energi yang bekerja dalam tubuh adalah sebuah cara mudah untuk memahami bagaimana windhorse bekerja dalam diri kita. Sekarang bayangkan, jika proses itu kita rasakan dengan pikiran sadar kita, dan energi itu kita bisa kendalikan dengan pikiran sadar kita.

Alam semesta adalah lautan energi, yang tidak terhingga, jika kita mampu menggunakan tubuh dan pikiran sebagai antena yang sempurna, maka apa yang bisa kita lakukan adalah tidak terbatas.

Tentunya kita tidak akan bahas teknik detailnya dalam artikel, karena proses pembelajaran windhorse hanya bisa dilatih dengan praktek secara teknis, tetapi pembahasan prinsip dasar ini adalah fundamental utama untuk memahami bagaimana kita bisa mengendalikan windhorse.

Dalam ajaran leluhur Nusantara / Tatar Sunda, istilah aslinya adalah 'Tungtung Renghap' (titik ujung terakhir nafas), lokasi tepatnya disebut 'Galeuh Hate' (diafragma). Titik ini bisa disebut sebagai "BLACKHOLE" dalam diri kita, pusaran yang tercipta karena aliran energi dari 4 penjuru mata angin. Dalam ajaran Tatar Sunda, 4 hewan yang disebutkan diatas, dikenal sebagi 4 makhluk penunggu daratan, 'naga, maung, garuda, singha', lambang hewan ini selalu ada dalam berbagai candi.

Diafragma / Galeuh Hate adalah "kubah otot" yang memisahkan antara paru - paru, jantung dan organ perut (lambung, limpa, hati, pankreas, ginjal). Pembatas ini yang kita bisa katakan sebagai BLACKHOLE dalam diri kita. Jika anda menyadari nafas, yang menggerakkan paru - paru adalah otot - otot yang disebut sebagai diafragma, maka kumpulan otot itu disebut kubah dalam dunia medis, itu 'motor utama' dari paru - paru.

Itu sebabnya dalam ajaran leluhur selalu dikatakan,

"Biasakanlah bernafas dengan meresapi Galeuh Hate"

Biasakan mengenal gerakan diafragma, ini sebuah cara memaknai aliran energi hidup mengaliri tubuh kita.

Ajaran ini juga dilestarikan di China, diafragma dikenal sebagai 'Tan Tien', semua aliran energi alam semesta masuk melalui Tan Tien, lalu mengalir ke chakra svadishtana, muladara, mengalir melalui tulang belakang, menuju visudhi, ajna, sahasrara. Teknik pernafasan diafragma dilestarikan dalam ajaran Chikung dan Zen (Shaolin), dan mereka sangat serius mendalami ajaran ini.

Mengapa aku tuliskan dalam berbagai istilah berbeda? Aku hanya ingin menjelaskan bahwa keilmuan asli TATAR SUNDA, dilestarikan sempurna di tiap peradaban Asia, sedangkan di Indonesia keilmuan ini bahkan tidak banyak dikenal oleh masyarakat, padahal ini adalah keilmuan asli leluhur NUSANTARA dan TATAR SUNDA. Ironis!!

Windhorse adalah dasar dari semua keilmuan yang menggunakan kekuatan pikiran sebagai penggerak. Alam semesta adalah lautan energi, pikiran adalah energi, semua hanya tergantung bagaimana kita mengendalikan energi itu melalui pikiran sebagai pembentuk pola. Tiap orang yang memahami windhorse akan memahami bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang sempurna.

Manusia terjebak dalam persepsi bahwa mereka tidak sempurna, karena mereka sama sekali tidak mengerti tentang dirinya sendiri, dan cenderung tidak memiliki keinginan untuk memahami diri sendiri, itulah akar dari terbentuknya persepsi yang salah.

"Tidak perlu mencari cahaya, jadilah DIRI yang ber-cahaya" - SU NA DA / SUNDA

Baca juga :

, ,



Bulan Jawa : kalender Pranata Mangsa

Ngelmu Titen Petani Jawa dalam Pranata Mangsa

Masyarakat Jawa dikenal dengan Ngelmu Titen adalah seperti filsafat empirisme dalam Ilmu Barat (Baca: Renesaince), yaitu kebiasaan untuk menafsirkan dan pengamatan serta pengalaman berbagai hal melalui tanda-tanda yang ada (fakta).

Sebagai masyarakat berkultur pertanian, ngelmu titen juga digunakan untuk memahami kapan petani dapat beraktivitas mulai dari menebar benih padi hingga memanennya.

Mereka mempunyai sistem penanggalan khusus pertanian yang disebut sebagai pranata mangsa (ketentuan musim).

Sistem penanggalan ini didasarkan pada siklus peredaran matahari sehingga penanggalan ini memiliki periode yang sama dengan kalender tahunan.

Bedanya, pranata mangsa tidak berangka dan bernama hari atau bulan seperti kalender pada umumnya. Akan tetapi, pranata mangsa menggunakan candraning mangsa atau fenomena yang biasanya terjadi pada mangsa/musim tertentu.

Hal ini tentu beralasan, mengingat masyarakat Jawa dahulu pada umumnya tidak terlalu mempedulikan bilangan.

Ada dua versi perhitungan pranata mangsa. Pertama adalah versi Kasunanan yang biasanya digunakan oleh masyarakat sekitar Gunung Merapi dan Gunung Lawu.

Baca juga :

, ,

Berdasarkan versi ini, mangsa dalam satu tahun dibagi menjadi 4, yaitu :

(1) mangsa katiga yang berjumlah 88 hari,
(2) mangsa labuh yang berjumlah 95 hari,
(3) mangsa rendheng yang berjumlah 94 hari, dan
(4) mangsa mareng yang berjumlah 88 hari.

Versi kedua lebih umum, yakni dengan mengaitkan perilaku hewan, perubahan pada tanaman, fenomena alam sekitar dengan praktik yang akan dilakukan dalam kultur agraris atau pertanian.

Berdasarkan hal ini, mangsa juga dibagi menjadi 4 musim utama namun disisipkan 2 musim penyela, yaitu sebagai berikut:
(1) mangsa terang yang berjumlah 82 hari,
(2) mangsa semplah yang berjumlah 99 hari dengan mangsa paceklik selama 23 hari pertama.
(3) mangsa udan yang berjumlah 86 hari, dan (4) mangsa pangarep-arep yang berjumlah 98 hari dengan mangsa panen pada 23 hari terakhir.

Selain pembagian ke dalam 4 musim, pranata mangsa juga dibagi lebih rinci menjadi 12 musim yang dilengkapi dengan posisinya di dalam mangsa utama.

Candra atau istilah yang digunakan untuk menyebut mangsanya, penciri atau hal-hal yang biasanya terjadi pada mangsa tersebut, dan tuntunan bagi para petani.

Berikut merupakan penjabaran rinci mengenai 12 mangsa yakni :

1. Mangsa Kasa (Kartika)
Mangsa ini terjadi pada mangsa katiga-terang. Mangsa kasa memiliki candra sesotya murca saka ngembanan. Secara literal, candra ini berarti mutiara yang terlepas dari kerangkanya.

Hal ini menandakan musim yang mana terjadi fenomena daun-daun berguguran, tumbuh-tumbuhan mulai meranggas, dan sejenis belalang mulai masuk ke dalam tanah.

Pada masa ini, para petani mulai membakar jerami sisa panen yang masih tertinggal di sawah dan mereka mulai menanam palawija, seperti jagung. Jumlah mangsa ini sekitar 41 hari.

2. Mangsa Karo (Pusa)
Mangsa ini ditandai dengan candra bantala rengka dan terjadi pada mangsa katiga-paceklik. Bantala rengka berarti tanah-tanah yang retak.

Biasanya, pada mangsa ini tanah-tanah mulai nela (retak) karena kekeringan sehingga apabila berkepanjangan, dapat menyebabkan musim paceklik (larang pangan/bahan pangan mahal).

Musim ini dicirikan dengan tumbuhan kapok atau randu yang mulai bertunas. Mangsa ini berlangsung sekitar 23 hari.

3. Mangsa Katelu (Manggasri)
Mangsa yang berjumlah 24 hari ini diibaratkan seperti suta manut ing bapa, yaitu mulai berakhirnya mangsa katiga-semplah. Pada mangsa ini, lahan-lahan tidak ditanami karena kondisi cuaca yang sangat panas.

Palawija yang telah ditanam mulai dipanen dan berbagai jenis bambu mulai bertunas. Pada musim ini, umbi-umbian juga mulai bertunas sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan cadangan sampai mangsa ini berakhir.

4. Mangsa Kapat (Sitra)
Pada mangsa ini, sawah-sawah belum ditanami karena masih peralihan dari mangsa katiga ke mangsa labuh. Biasanya, pada mangsa ini para petani baru menggarap sawah.

Fenomena alam yang terjadi pada mangsa ini adalah mulai berbuahnya pohon kapuk randu dan burung-burung kecil mulai bertelur. Mangsa ini diibaratkan sebagai waspa kumembering jroning kalbu (air mata yang penuh di dalam hati).

Candra ini bermakna bahwa sumber-sumber mata air mulai mengering sebagai pertanda mangsa labuh. Mangsa ini berlangung sekitar 25 hari.

5. Mangsa Kalima (Manggala)
Mangsa kalima menjadi pertanda bahwa sudah saatnya petani harus menggarap sawah. Pada mangsa ini, hujan mulai turun sehingga saluran irigasi di sawah mulai diperbaiki. Mangsa ini terjadi selama sekitar 27 hari.

Fenomena alam yang biasanya terjadi bersamaan dengan mangsa ini adalah munculnya tunas-tunas muda pohon asam dan ulat-ulat mulai bermunculan.

Candra yang digunakan untuk mangsa ini adalah pancuran emas sumawur ing jagad yang bermakna bahwa pancuran emas (sumber air) memancar ke seluruh alam.

6. Mangsa Kanem (Naya)
Setelah mangsa kalima berakhir, dimulailah mangsa kanem yang akan berlangsung selama sekitar 43 hari. Pada mangsa kanem, para petani mulai menebar benih di lahan khusus pembenihan, biasanya lahan yang digunakan adalah lahan yang dekat dengan saluran air.

Pada mangsa yang diibaratkan sebagai rasa mulya kasucian ini, biasanya ditandai dengan banyaknya buah-buahan manis yang siap dipetik, seperti durian, rambutan, dan manggis. Selain itu, burung belibis pun mula terlihat di sekitar tempat-tempat berair.

7. Mangsa Kapitu (Palguna)
Mangsa kapitu yang berlangsung selama sekitar 43 hari diibaratkan bagai wisa kintir ing maruta yang bermakna “racun yang hanyut bersama angin”.

Hal ini menandakan bahwa pada mangsa kapitu, berbagai penyakit bermunculan dan orang-orang mulai jatuh sakit. Fenomena alam yang terjadi antara lain sering hujan dan banjir, badai, dan tanah mulai longsor.

8. Mangsa Kawolu (Wisaka)
Mangsa kawolu terjadi pada saat rendheng-pangarep arep dan berlangsung sekitar 26 hari.

Pada mangsa ini, padi-padi mulai menghijau dan ulat-ulat mulai bermunculan, serta dimulainya musim kucing kawin sehingga mangsa ini diibaratkan sebagai anjrah jroning kayun (merata dalam segala ingin).

Para petani banyak berharap-harap agar selepas masa ini berakhir, tanaman mereka menghasilkan panen yang banyak dan tidak terkena penyakit.

9. Mangsa Kasanga (Jita)
Awal permulaan mangsa kasanga ditandai dengan wedharing wacana mulya atau mulai keluarnya bunyi-bunyian yang indah.

Pada mangsa ini, hewan-hewan seperti garengpung, gangsir, dan jangkrik mulai muncul dan mengeluarkan bunyi-bunyian.

Mangsa ini juga menandai padi-padian yang mulai berbunga dan sebagian juga sudah mulai berbuah. Mangsa ini terjadi selama kurang lebih 25 hari.

10. Mangsa Kasepuluh (Srawana)
Mangsa kasepuluh ditandai dengan menguningnya padi, hewan-hewan yang sudah mulai hamil, dan telur-telur burung mulai menetas.

Candra yang digunakan untuk mangsa ini adalah gedong minep jroning kalbu yang bermakna bahwa mangsa kasepuluh adalah masa yang mana para makhluk hidup mulai hamil/berisi. Mangsa ini berlangsung sekitar 24 hari.

11. Mangsa Desta (Padrawana)
Setelah berakhirnya mangsa kasepuluh, dimulailah mangsa desta yang menjadi penanda dimulainya musim panen padi.

Candra yang digunakan pada mangsa ini adalah sotya sinara wedi yang mana para burung mulai menyuapi anak-anaknya. Pada masa yang berlangsung selama 23 hari inilah, mangsa mareng dimulai.

12. Mangsa Sada (Asuji)
Mangsa sada menjadi mangsa terakhir dalam pranata mangsa. Mangsa ini diibaratkan seperti tirta sah saking sasana (air yang menghilang dari tempatnya).

Pada mangsa ini, orang-orang jarang berkeringat karena cuacanya yang dingin. Hal ini menandakan berakhirnya mangsa mareng.

Mangsa yang berlangsung selama kurang lebih 41 hari ini dimanfaatkan oleh para petani untuk menjemur gabah (biji padi) dan menyimpannya di lumbung.

Demikian penjelasan dari 12 pranata mangsa. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, penanggalan tersebut semakin jarang digunakan oleh para petani karena kurang relevan.

Oleh karenanya, perlu pengkajian dan pemahaman ulang agar pranata mangsa tersebut tetap dapat berfungsi sebagai penanggalan tradisional dalam bidang agraris.



SISTEM KALENDER JAWA

Kalender Jawa sama halnya dengan kalender-kalender yang lain menunjukkan tahun, bulan, tanggal dan hari dari suatu saat. Dalam sistem kalender ini selain ada tujuh hari, minggu sampai dengan sabtu juga ada lima hari pasaran: kliwon, legi, pahing, pon dan wage. Di Jawa kedua macam hari itu digabungkan untuk mengingat kejadian-kejadian yang penting, misalnya seseorang lahir hari Minggu Kliwon atau Minggu Wage, seseorang meninggal hari Jumat Legi atau Jumat Pon.

SIMBOL PERPUTARAN HIDUP
Kalender Jawa menunjukkan perputaran hidup antara manusia dimana hidup itu diciptakan oleh Gusti, pencipta Jagat Raya, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sirklus Hari dalam penanggalan Jawa:
Dalam budaya Jawa, sistem sirklus hari ada bermacam-macam. jaman dahulu orang Jawa kuno mengenal 10 jenis minggu. Dari seminggu yang jumlahnya hanya satu hari, hingga Seminggu yang jumlah harinya terdapat 10 hari. Nama macam-macam minggu tersebut adalah
1. Ekawara,
2. Dwiwara,
3. Triwara,
4. Caturwara,
5. Pancawara,
6. Sadwara,
7. Saptawara,
8. Hastawara,
9. Nawawara dan
10. Dasawara.

Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari: Hari Pasaran Lima
Hari-hari pasaran merupakan posisi sikap (patrap) dari bulan.
1. Kliwon (Asih) melambangkan jumeneng atau berdiri.
2. Legi (Manis) melambangkan mungkur atau berbalik arah kebelakang.
3. Pahing (Pahit) melambangkan madep atau menghadap.
4. Pon (Petak) melambangkan sare atau tidur.
5. Wage (Cemeng) melambangkan lenggah atau duduk.
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.

Untuk lebih jelasnya perhatikan perumusan tata penanggalan Jawa sebagai berikut :
1. Perhitungan hari dengan siklus 5 harian disebut sebagai Pancawara – Pasaran. (Artinya dalam 1 minggu (Pancawara) hanya ada 5 hari)
2. Perhitungan hari dengan siklus 6 harian disebut Sadwara – Paringkelan.
3. Perhitungan hari dengan siklus 7 harian disebut Saptawara – Padinan.
4. Perhitungan hari dengan siklus 8 harian disebut Hastawara – Padewan
5. Perhitungan hari dengan siklus 9 harian disebut Sangawara – Padangon
6. Perhitungan hari dengan siklus mingguan (7 hari) terdiri 30 minggu disebut Wuku.

Namun jaman sekarang yang biasa dipakai hanya 2 jenis minggu saja, yaitu Pancawara (pasaran) dan Saptawara (Padinan). Misalnya Senin Legi, Selasa Pahing dan seterusnya. Saptawara dipakai karena dinilai universal (sirklus 7 hari). Sedangkan Pancawara tetap dipakai karena melambangkan jati diri manusia Jawa yang berbudaya.

HARI
Orang Jawa percaya bahwa hitungan 7 hari dalam seminggu bermula ketika Tuhan menciptakan alam semesta ini dalam 7 tahap. Dimana tahap pertama diawali hari Radite (Minggu).
1. Pertama, Ketika Tuhan memiliki kehendak ingin menciptakan dunia. Kehendak Tuhan ini lalu disimbolkan dengan MATAHARI yang bersinar sebagai sumber kehidupan.
2. Kedua, ketika Tuhan menurunkan kekuatanNYA untuk menciptakan dunia. Kekuatan Tuhan itu lalu disimbolkan dengan BULAN yang bercahaya tanpa menyilaukan.
3. Ketiga, Ketika kekuatan Tuhan tadi mulai menyebarkan percik-percik sinar Tuhan. Percik sinar Tuhan itu lalu disimbolkan dengan API yang berpijar.
4. Keempat, Ketika Tuhan menciptakan dimensi ruang untuk wadah alam semesta. Dimensi ruang itu lalu disimbolkan dengan BUMI menjadi tempat makhluk hidup.
5. Kelima, Ketika tuhan menciptakan panas yang menyalakan kehidupan. Panas yang menyala itu lalu disimbongkan dengan ANGIN yang bergerak dan petir yang menyambar.
6 Keenam, Ketika tuhan menciptakan air yang dingin. Air yang dingin itu lalu disimbolkan dengan BINTANG yang mirip titik-titik air yang menyejukan.
7. Ketujuh, Ketika Tuhan menciptakan unsur materi kasar sebagai dasar pembentuk kehidupan. Materi kasar itu lalu disimbolkan dengan AIR sebagai sumber kehidupan.
Perlu dipahami bahwa penyebutan elemen (anasir) ini hanyalah sebagai simbol. Bukan merupakan urutan kejadian alam semesta itu sendiri. Simbol inilah yang nantinya digunakan dalam mengenali watak (karakter) hari.

Elemen Hari
Minggu : Aditya = Planet Matahari
Senin : Soma = Planet Bulan
Selasa : Anggara = Planet Mars
Rabu : Budha = Planet Merkurius
Kamis : Respati = Planet Jupiter
Jumat : Sukra = Planet Venus
Sabtu : Saniskara = Planet Saturnus

Dino Pitu (Hari Tujuh)
Nama hari ini dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Gerakan (solah) dari bulan terhadap bumi adalah nama dari ke tujuh tersebut.
1. Radite (Minggu) melambangkan meneng atau diam.
2. Soma (Senin) melambangkan maju.
3. Anggar/Hanggara (Selasa) melambangkan mundur.
4. Budha (Rabu) melambangkan mangiwa atau bergerak ke kiri.
5. Wrespati/Respati (Kamis) melambangkan manengen atau bergerak ke kanan.
6. Sukra (Jumat), melambangkan munggah atau naik ke atas.
7. Tumpak (Sabtu) melambangkan temurun atau bergerak turun.

PENANGGALAN BULAN
Tanggal pertama tiap bulan Jawa, bulan kelihatan sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang.
1. Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan penuh melambangkan dewasa yang telah bersuami istri.
2. Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan purnama, bulan masih penuh tapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang.
3. Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan panglong, orang sudah mulai kehilangan daya ingatannya.
4. Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain kembali seperti bayi layaknya.
6. Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan manjing, dimana hidup manusia kembali ketempat asalnya menjadi teja lagi.

Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat dimana ‘Teja’ akan mulai dilahirkan kembali kekehidupan dunia yang baru. Proses perputaran hidup ini dinamakan ‘cakramanggilingan‘ (cakra = senjata berbentuk roda yang bergigi tajam, manggilingan = selalu berputar) atau juga disebut herucakra. Manusia yang berbudi baik selalu mengikuti jalan yang diperkenankan oleh Yang Kuasa orang tersebut akan dituntun mengetahui sangkan paraning dumadi (datang ke dunia berawal suci hidup didunia berhati dan berperilaku suci dan kembali dalam keadaan suci lagi).

Nama-nama Bulan
Setiap eksistensi dari hidup manusia baru dimulai dengan Teja (sinar hidup yang diciptakan oleh kekuatan gaib dari Gusti Tuhan).

Perputaran hidup manusia adalah dari teja kembali ke teja melalui suwung (kosong). Dari bulan pertama (Warana/ sinar) sampai dengan bulan ke sembilan manusia baru tersebut berada di kandungan ibu dalam proses untuk mengambil bayi hidup yang sempurna, siap untuk lahir; dari bulan kesepuluh dia menjadi seorang manusia yang hidup didunia ini. Bulan kesebelas melambungkan akhir dari pada eksistensinya didunia ini yaitu, wusana artinya sesudahnya. Yang terakhir adalah suwung artinya kosong, hidup pergi kembali dari mana hidup itu datang. Dengan kehendak Gusti hidup itu kembali lagi menjadi Teja/ Cahaya, inilah perputaran hidup karena hidup itu abadi.

Ada kalanya orang tua bijak memberikan nasihat sebaiknya setiap orang itu tahu inti dari sangkan paraning dumadi atau purwa, madya, wusana. Sehingga orang akan selalu bertingkah laku yang baik dan benar selama diberi kesampatan untuk hidup didunia ini.

Satu tahun terdiri dari 12 bulan yang menunjukkan sangkar paraning dumadi (asalnya dari mana dan akan pergi kemana), disini ada 12 proses yaitu :
1. Warana (Sapar) artinya wiwit.
2. Wadana (Mulud) artinya kanda.
3. Wijangga (Bakda Mulud) artinya ambuka.
4. Wiyana (Jumadi Awal) artinya wiwara.
5. Widada (Jumadi Akhir) artinya rahsa.
6. Widarpa (Rejeb) artiya purwa.
7. Wilapa (Ruwah) artinya dumadi.
8. Wahana (Pasa) artinya madya.
9. Wanana (Sawal) artinya wujud.
10. Wurana (Sela) artinya wusana.
11. Wujana (Besar) artinya kosong.
12. Wujala(Sura) artinya tejo

NO PENANGGALAN JAWA LAMA HARI
1. Warana 31
2. Wadana 28
3. Wijangga 31
4. Wiyana 30
5. Widada 31
6. Widarpa 30
7. Wilapa 31
8. Wahana 31
9. Wanana 30
10. Wurana 31
11. Wujana 30
12. Wujala 31
Total 365

*Bandingkan jumlah harinya dengan tahun lunar/ hijriah berikut:
No Penanggalan Jawa Lama Hari
1 . Sura 30
2. Sapar 29
3. Mulud 30
4. Bakda Mulud 29
5. Jumadilawal 30
6. Jumadilakir 29
7. Rejeb 30
8. Ruwah (Arwah, Saban) 29
9. Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan) 30
10. Sawal 29
11. Sela (Dulkangidah, Apit) 30
12. Besar (Dulkahijjah) 29
Total 354

TAHUN
Terdapat delapan nama dari tahun Jawa, pada masa kasultanan Agung, nama-nama tersebut digubah dan disisipkan bahasa arab/ islam, Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut :

Purwana – Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)
Karyana – Ehe, artinya tumandang (melakukan)
Anama – Jemawal, artinya gawe (pekerjaan)
Lalana – Je, artinya lelakon (proses, nasib)
Ngawana – Dal, artinya urip (hidup)
Pawaka – Be, artinya bola-bali (selalu kembali)
Wasana – Wawu, artinya marang (kearah)
Swasana – Jimakir, artinya suwung (kosong)
Siklus Windu atau per 8 tahun
#
Mangsa Pasaran Hari
1. Purwana Selasa Pon 354
2. Karyana Sabtu Pahing 355
3. Anama Kamis Pahing 354
4. Lalana Senin Legi 354
5. Ngawana Jumat Kliwon 355
6. Pawaka Rabu Kliwon 354
7. Wasana Minggu Wage 354
8. Swasana Kamis Pon 355
Total 2835

Kedelapan tahun itu membentuk kalimat ”ada-ada tumandang gawe lelakon urip bola-bali marang suwung” (mulai melaksanakan aktifitas untuk proses kehidupan dan selalu kembali kepada kosong). Tahun dalam bahasa Jawa itu wiji (benih), kedelapan tahun itu menerangkan proses dari perkembangan wiji (benih) yang selalu kembali kepada kosong yaitu lahir-mati, lahir-mati yang selalu berputar.

Daftar Musim Matahari Jawa
Daftar ‘pranata mangsa’ ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan sejak jaman dahulu kala yang juga merupakan kalender Surya, sebagai patokan para petani untuk bercocok tanam, tetapi lama setiap mangsa berbeda-beda.

Nama musim atau mongso yang disebut sebagai ‘Pranata Mangsa’
Penanggalan Jawa Awal Akhir
1. Kasa 23 Juni-2 Agustus
2. Karo 3 Agustus-25 Agustus
3. Katiga (Katelu) 26 Agustus-18 September
4. Kapat 19 September-13 Oktober
5. Kalima 14 Oktober-9 November
6. Kanem 10 November-22 Desember
7. Kapitu 23 Desember-3 Februari
8. Kawolu 4 Februari-1 Maret
9. Kasanga 2 Maret -26 Maret
10. Kadasa 27 Maret-19 April
11. Dhesta 20 April-12 Mei
12. Sadha 13 Mei -22 Juni







SELAMAT TAHUN BARU JAWA 2931 TAHUN JAWA

Ketika membaca judul artikel ini kawan-kawan pasti penasaran dan kaget bulan pertengahan seperti ini membuat status dg judul Selamat Tahun Baru, mungkin di benak pikiran kawan-kawan pembaca, waah yg menulis artikel ini lagi stres akibat kena dampak terlalu lama PSBB akibat covid 19 kali ya?

Masyarakat Nusantara khususnya Jawa saat ini terlanjur cuma hanya mengenal bahwa Tahun Baru Jawa itu adalah 1 Suro yg bersamaan dg 1 Muharram.

Semakin hari semakin modern insting para generasi kawula muda semakin kritis dalam hal penelusuran dalam kejanggalan, dalam setiap diskusi sering terlontar pertanyaan-pertanyaan dari peserta diskusi yg di dominasi oleh kaum muda yg cerdas dan kritis untuk menanyakan Tahun Baru Jawa yg asli itu kapan?

Memang yg di kenal oleh masyarakat luas dan dan di tahun serta berlaku saat ini adalah tahun baru Jawa adalah 1 Suro atau tahun baru saka, perlu di ketahui bahwa Tahun Baru Jawa yg telah diperkenalkan oleh Kanjeng Sultan Agung adalah 1 Suro yg telah di modifikasi atau di owahi di sesuaikan dg kepentingan politik persamaan dg para wali sejak tahun 1555 Srawana, apakah sebelum tahun tersebut kalender Jawa tidak ada istilah tahun baru? Jawabnya ada

Hingga kini masyarakat adat Jawa walau jumlahnya sangat sedikit namun masih ada yg menggunakan atau mengatakan bahwa hari ini yg bertepatan dg tgl 21 Juni Pranata masa Kasa atau bulan Kartika adalah sebutan Tahun Baru bagi masyarakat adat Jawa Asli atau tulen.

Maka untuk itu artikel ini hanya menggugah serta mengenalkan kembali bahwa Tahun Baru Jawa Tulen menggunakan KALENDER PRANATA MANGSA merupakan bergantinya tahun sebelumnya dan menapaki tahun berikutnya yg masih tidak terpengaruh oleh owah-owahan perpolitikan pembelotan sejarah.

Apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan Mpu Hubayun pada 911 SM, maka saat ini (2020) adalah tahun 2931 (Jawa Asli, bukan Saka, Jowo kini atau Hijriah). Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun.

Saya ucapakan SELAMAT TAHUN BARU JAWA bagi rekan-rekan adat Jawa yg masih menggunakan kalender pranata mangsa di bumi Nusantara ini, nuwun



By. Ki Pandi Nayuhan
Mari kembalikan kejayaan Negeri Matahari 🙏🇮🇩
Hayu hayu jaya jaya Wijaya🙏🇮🇩
Rahayu Mulyaning Jagad Jawa🙏🇮🇩