Paguyuban Esa Tunggal Sejati di Kota Salatiga.

Ajaran Paguyuban Esa Tunggal Sejati yang termuat di dalam Kitab Pagelaran Hidup. Kitab ini merupakan pengejawantahan dari kitab utama paguyuban, yaitu Kitab Piati dan ditulis langsung oleh sang pendiri Sri Mulyono Hartono.
Paguyuban yang berkantor pusat di
Kota Salatiga ini menyebut Tuhan sebagai Sang Daya Hidup dan Sang Sejati yang harus dimengerti bukan hanya dipercaya. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial yang dibekali pikir, rasa, dan kehendak. Tujuan terpenting dalam Piati adalah manusia dapat bermanunggal dengan Tuhannya, yang disebut juga bersejati atau manembah.

Keberadaan paguyuban ini menarik untuk diketahui oleh masyarakat karena kegiatan pertemuan mereka sampai saat ini masih rutin dilakukan meskipun jumlah anggotanya tidak sebanyak organisasi lain. Bahkan, pada acara HUT Piati (Piwarahan Agung Sejati) tahun 2016, Paguyuban Satu Jati mengundang banyak elemen, baik dari pejabat pemerintahan maupun masyarakat sekitar. Paguyuban ini memiliki salah satu kitab, yaitu kitab pagelaran hidup. Kitab Pagelaran Hidup bukanlah kitab utama yang digunakan oleh para penghayat kepercayaan Paguyuban Satu Jati. Kitab utama mereka adalah Kitab Piwarahan Agung Sejati (Piati). Hanya saja, Kitab Piati ini tidak lagi diedarkan dan tidak bisa dibaca oleh sembarang orang karena memilki struktur kalimat atau gaya bahasanya tersendiri. Menurut Bapak Koko Cahyono, Ketua HPK Salatiga dan Bendahara Paguyuban Satu Jati,  jika Kitab Piati dibaca oleh sembarang orang maka ditakutkan akan menimbulkan kebingungan dan multitafsir sehingga kitab ini tidak boleh lagi diedarkan hanya saja sebagian murid ada yang menerima nya.

Pendiri paguyuban ini adalah Bapak Sri Mulyono Hartono. Selepas masa kepengurusan Bapak Sri Mulyono Hartono (meninggal dunia) kemudian jabatan ketua paguyuban dipegang oleh sang ayah mertua, Bapak R. Soemarmo Atmodjo. Bapak Soemarmo sendiri telah meninggal dunia pada bulan Juli tahun 2016 yang lalu. Saat ini, jabatan ketua paguyuban dipegang oleh putri dari Bapak Soemarmo yang juga merupakan istri dari Bapak Sri Mulyono Hartono, yaitu Ibu Endang. Namun, perlu diketahui bahwa pengangkatan Ibu Endang sebagai ketua merupakan kesepakatan dari seluruh anggota paguyuban meskipun Ibu Endang sendiri bukan merupakan seorang penghayat. Alasan yang dikemukakan oleh Pak Koko (wawancara 29 November 2016) terkait pengangkatan beliau sebagai ketua adalah karena beliau sebagai putri dari sesepuh mereka sehingga penerusnya pun sebaiknya dari keluarga yang terdekat.

Saat ini jumlah anggota paguyuban yang aktif mengikuti kegiatan di Salatiga hanya sebanyak 9 orang. Menurut penuturan Pak Koko (wawancara, 29 November 2016), saat pertemuan rutin biasanya hanya 9 – 12 orang yang datang. Pengurus pun tidak akan pernah memaksa mereka-mereka yang tidak pernah hadir karena pada dasarnya keikutsertaan itu harus bersifat ikhlas dari para anggotanya sendiri. 

Di Kota Solo sendiri yang merupakan tempat Pak Sri Mulyono  menerima wahyu sudah tidak ada anggota maupun kegiatannya. Jumlah anggota paguyuban ini memang tidak sebanyak organisasi penghayat yang lain. Namun, mereka masih aktif dan rutin melakukan pertemuan setiap Selasa Legi dan tanggal 22 setiap bulannya. Hari Selasa Legi diyakini sebagai hari diturunkannya wahyu kepada pendiri paguyuban, Pak Sri Mulyono. Sedangkan tanggal 22 dipilih sebagai hari baik untuk berkumpul karena angka tersebut adalah angka yang relatif mudah untuk diingat oleh seluruh anggota (Koko, wawancara 29 November 2016). Mereka juga mengadakan perkumpulan atau peringatan hari ulang tahun atau hari lahirnya paguyuban setiap tanggal 6 agustus.

Simbol atau lambang dari Paguyuban Satu Jati adalah “Tunggul Jati”. Tunggul Jati ini diwujudkan dalam bentuk “bintang kepyur” (bintang yang bersinar) dengan warna kuning emas. Lambang bintang menggambarkan keluhuran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa sedangkan “kepyur” menggambarkan pancaran dari segala kebesaran Tuhan. Warna kuning adalah lambang dari kesejatian. Lima sisi pada bintang menggambarkan Lima Prana Jati Allah yang menjadi pedoman Paguyuban Satu Jati. Jadi,lambang ini berarti pancaran dari keluhuran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa yang Sejati.

Lima Prana Jati Allah itu adalah:

 (1) Allah itu ada;

(2) Allah itu hidup;

(3) Allah itu Maha Kuasa;

(4) Allah itu Satu Yang Esa;

(5) Allah itu Sempurna.

Semboyan dari Paguyuban ini adalah “Hamemetri Hayuning Jagad” yang berarti menjaga kelestarian dan keindahan dunia (jagad). Paguyuban Satu Jati senantiasa berbuat untuk menjaga kelestarian dan keindahan dunia. Mereka tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merusak keindahan yang ada di dunia, termasuk makhluk-makhluk di dalamnya.

Di dalam Paguyuban Satu Jati, orang yang mengucapkan syahadat tidak serta merta menjadi warga penghayat. Ada aturan lain lagi yang membuat mereka pada akhirnya menjadi penghayat. Bunyi Syahadat dari Paguyuban Satu Jati adalah:

 “ALLAH itu ada, yang hidup atas Maha Kuasa-Nya, Dialah satu Yang Esa serta Sempurna, maka hanya kepada-Nya lah aku bertuntun Sabda, serta kepada-Nya pula aku Berbakti dan Manembah Allah”

 

Buku Pedoman Paguyuban Esa Tunggal Sejati

Buku yang dijadikan kitab pegangan oleh warga Paguyuban Esa Tunggal Sejati adalah Kitab Piwarahan Agung Sejati (Piati). Buku ini ditulis oleh Sri Mulyono Hartono, sebagai orang yang mendapatkan wahyu atau sabda pertama kali yang Sejati (Tuhan YME). Kitab Piati ini diturunkan pada tanggal 6 Agustus 1968 dalam rangka untuk memberikan tuntunan/pengertian tentang Tuhan.

Kitab Piati tersebut diterima langsung oleh Sri Mulyono Hartono bukan dari manusia ataupun setan, melainkan langsung dari Sejatinya Hidup, yaitu Tuhan YME. Jadi, Piati itu bukanlah karangan dari Sri Mulyono. Semua yang tertulis di dalam kitab tersebut merupakan sabda yang diberikan oleh Yang Sejati tersebut. Di dalam menerima dan menulis sabda Piati ini, Sri Mulyono tidak mendapatkan bantuan apapun kecuali dengan tinta pena, kertas (buku kosong), dan lampu (Hartono, 1983: ii). Sambil menulis itulah beliau memahami isi Piati.

Kitab Piati ini sekarang sudah tidak lagi diedarkan. Dahulu para warga penghayat Paguyuban Satu Jati sempat melihat dan membaca kitab tersebut, namun karena ditakutkan muncul kebingungan dalam membaaca kalimat-kalimat yang ada di dalamnya maka kitab ini pun ditarik kembali dari para anggota.  penghayat sendiri pun tidak ada yang berani mengartikan kitab Piati karena bahasanya yang cukup unik. Kitab Piati ini menurut Sri Mulyono: “Piati datang sendiri, ber-Tahta sendiri dari kerajaannya sendiri, seperti yang tersebut dalam Piagam Surat Piati yang selalu dibaca pada setiap Ulang Tahunnya” Sabda ini datang sendiri, dari yang paling SENDIRI (paling TUNGGAL) melalui seorang manusia (Sri Mulyono Hartono) yang sedang sendiri. 

Sabda yang terdapat dalam Piati tertata dalam bab yang disebut Pakarti (Pengawal Kata Prakarsa Jati), misalnya Pakarti I, Pakarti II, Pakarti III, dan seterusnya. Kemudian, di dalam Pakarti-pakarti tersebut berisi Surat Pamudaran, yang terdiri atas Surat Pamudaran I, II, III, dan seterusnya. Di dalam Piati ini juga terdapat bagian yang merupakan penegasaan, bimbingan, dan tuntunan, seperti Sabda Awal, Sabda Pambimbing, Sabda Panuntun Pambimbing, Sabda Panuntun Sorga, Sabda Pamungkas, dan lain-lain (Hartono, 1983: 1). Sabda Awal berarti sabda ini terletak pada awal buku.

Di dalam Kitab Pagelaran Hidup yang dibukukan pada tahun 1983 disebutkan bahwa Kitab Piati masih dalam bentuk aslinya, yaitu tulisan tangan. Kitab tersebut belum bisa diperbanyak karena masih banyak kalimat atau kata yang masih wungkul (tumpul). Dikhawatirkan kitab ini akan disalahartikan dan kurang dimengerti oleh mereka yang membacanya. Pengedaran dari kitab ini pun menunggu petunjuk dari yang memiliki kitab, yaitu Sang Sejati. Jadi, sampai saat kitab Pagelaran Hidup ditulis belum ada seorang pun yang pernah membacanya, kecuali kutipan-kutipan yang dirasa perlu saja (Hartono, 1983: 1 – 2).

Kitab Piati tidak dibahas dalam penelitian ini karena Kitab Piati tidak diedarkan dan tidak boleh dibaca sembarang karena ditakutkan dapat menimbulkan salah tafsir. Di dalam Buku Pagelaran Hidup, terdiri atas 10 Bab meskipun tidak disebutkan dengan istilah Bab 1, Bab 2, dan seterusnya. Sistematika dari buku tersebut meliputi:

1. Kata Pengantar

2. Daftar Isi,

3. (Bab 1), Daya Hidup

4. (Bab 2) Roh, Nyawa, atau Suksma

5. (Bab 3), Ilmu Sunyata Sejati

6. (Bab 4), Bersejati

7. (Bab 5), Mencari, Bertemu dan Manunggal dengan Sejatinya

8. (Bab 6), Perluasan Pengertian

9. (Bab 7), Pikir Angan-angan, Rasa Perasaan Manusia

10. (Bab 8), Kembali ke Orisinilnya

(Bab 9), Perjalanan Kejiwaan

(Bab 10) Bertuntun Sabda

 

Konsep Tentang Tuhan


Tuhan, menurut Paguyuban Satu Jati dalam Buku Pagelaran Hidup, disebutkan dengan berbagai kata. Tuhan disebut sebagai “Daya Hidup”. Daya Hidup merupakan “Daya yang menghidupi semua yang harus hidup di alam semesta ini, seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lainnya”. Daya Hidup (DH) ini merupakan sebuah kesatuan utuh yang meliputi semuanya dan dimana-mana. DH ini sifatnya kekal atau langgeng karena jika DH tidak kekal maka dunia akan terhenti dan mati (Hartono, 1983: 1). Pada diri manusia, DH ini bernama “Roh, Nyawa, atau Suksma”. DH ini merupakan Sumber Hidup yang menghidupi sampai hal yang sekecil-kecilnya. Bahkan, pergerakan benda dan perputaran dunia serta planetnya ini merupakan kuasa dari DH. Di dalam Kitab Piati, DH dapat dibaca dalam Surat Pamudaran IV, Pakarti V, yang bunyinya sebagai berikut:

SURAT PAMUDARAN IV

Hidup itu langgeng dan tidak pernah mati (jangan paturat1), sebab kalau hidup tidak langgeng, bukankah sekarang sudah tidak ada kehidupan lagi. Dan selamanya hidup itu tetap hidup. Karena hidup itu menghidupi. Jadi yang mati bukan hidupnya, tetapi barang yang dihidupi itulah yang mati, dan selamanya sejak dari pertamanya jaman, kalau barang itu selalu mati dan tidak pernah menjadi hidup, kalau tiada dihidupi. Karena hidup adalah aku sendiri dan aku tidak pernah mati dan aku bukan barang, jadi aku tidak dapat mati…..Sekarang mengapa demikian, ya karena tergantung si hidup yang kuasa menghidupi itu, dan karena si hidup itu hidup sendiri; oleh karena itu ia maha kuasa, ya maha hidup. Inilah sunyata sejatinya langgeng. (Hartono, 1983: 2).

Di dalam kutipan tersebut terdapat kata “aku” yang merujuk pada Tuhan YME. Hidup atau Daya Hidup itu sifatnya menghidupi, Maha Kuasa, dan Maha Hidup. Maha Hidup ini artinya Dia punya kuasa menghidupi dan Dia itu hidup sendiri. Dia bersifat kekal atau langgeng. Dia tidak bisa mati karena Dia bukanlah barang. Selain disebut sebagai Daya Hidup, Tuhan dalam Paguyuban Satu Jati juga disebut sebagai yang Sejati. Beberapa kali dalam Kitab Pagelaran Hidup disebutkan kata “Sejati” yang artinya merujuk pada Tuhan. Penyebutan tersebut diantaranya dalam halaman 1, 2, 4, 5, dan seterusnya. Manusia berada pada tingkatan nyata sedangkan Tuhan berada “di atasnya nyata” dan yang berada dalam “Sejatinya Nyata” ini adalah Tuhan itu sendiri, Sang Sejati.

Ilmu pengetahuan manusia tidak dapat menjangkau ilmu pengetahuan Tuhan, dan ilmu ini diberi nama Ilmu Sunyata Sejati (Hartono, 1983: 4). Di dalam Surat Pamudaran IV disebutkan bahwa “…kalau Sejati itu tidak kelihatan (nyata) tetapi Hidup, bahkan Si Hidup itu sendiri. Apakah pernah ada manusia di dunia ini yang melihat hidup? Tetapi semua orang mengatakan bahwa Hidup itu ada” (Hartono,1983: 4). Ini dapat diartikan bahwa sebenarnya Tuhan itu gaib, Tuhan itu merupakan sesuatu yang bukan barang atau benda. Sang Sejati ini tidak dapat dideteksi, tidak dapat diukur, tidak dapat diraba, tetapi dapat dimengerti kalau Tuhan itu Ada. Untuk mempelajari tentang Tuhan inilah menggunakan Ilmu Sunyata Sejati, yang merupakan Sejatinya Ilmu Sunyata. Ilmu ini tidak dimudah didapatkan. 

Konsep akan Tuhan dalam Kitab Piati yang diyakini oleh warga penghayat Paguyuban Esa Tunggal Sejati adalah sesuatu yang harus dimengerti bukan hanya sekedar percaya. Mengerti atau pengertian itu beda dengan percaya atau kepercayaan. Mengerti itu artinya mengetahui dan membuktikan keberadaan atau adanya sehingga ada nilai kebenaran yang nyata di dalamnya. Percaya adalah suatu keyakinan bahwa sesuatu itu benar ada namun belum terbukti dan diketahui kebenarannya (Atmodjo, tt-b: 1). 

Konsep mengenai “Pengertian akan Tuhan” bukan “Kepercayaan akan Tuhan” terdapat dalam Sabda Awal 1 Kitab Piati yang berbunyi:

Sabda Awal 1

Hai Manusia

Engkau jangan hanya percaya kepada KU

Tetapi engkau harus mengerti kalau AKU itu ADA

Dan AKU selalu di dekatmu

Bahkan AKU ada di dalammu

Maka carilah AKU

Nanti KU tuntun kau

 

Jadi, berdasarkan Sabda Awal 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia harus mengerti akan Tuhannya, bukan hanya percaya saja. Sabda Awal 1 tersebut kemudian diikuti dengan sebuah kalimat yang mendasari isi Kitab Piati, yaitu:

Inilah sabdaku yang kuturunkan hari ini, di dalam hujan gerimis dibulan Agustus Tahun 1968, pada jam 8 kurang seper empat petang, tanggal enam menjelang tuju. Yaitulah sabdaku yang kunamakan sabda pengawal untuk memberi pakarti dalam buku ini – dan tidak hanya itu, bahkan semua yang tertulis adalah kata-kataku sendiri, dari jengkal kata yang menjejak buku ini, untuk beredar keseluruh dunia, untuk membawa umat manusia berpakarti kepada Tuhan yang sejati dengan tidak atas dasar kepercayaan atau beriman yang tebal, tetapi harus mengerti. Karena mengerti itu lebih dari percaya, Sebab mengerti itu sudah tahu dan kalau percaya itu belum tentu tahu. Maka kalau kepercayaan itu lama-kelamaan akan pudar dan akhirnya ganti kepercayaan lain. Maka titik penegak dari kitab agung ini adalah pengertian yang mendalam, sehingga tahu benar – tidak hanya percaya dalam kepercayaan, tetapi harus percaya dalam pengetahuan pakarti.

Berdasarkan isi Sabda Awal di atas, yang perlu dipahami oleh warga penghayat adalah pentingnya PENGERTIAN dibanding KEPERCAYAAN. Paguyuban Esa Tunggal Sejati bukanlah aliran kepercayaan tetapi aliran kejiwaan (Hartono, 1983: 5). Jiwa itu memiliki kesamaan arti dengan “Hidup”, dan Sang Hidup itu sejati, sehingga KEJIWAAN sama artinya dengan KESEJATIAN. Seorang warga penghayat akan mengerti dahulu baru kemudian percaya, bukan percaya dulu baru mengerti. Prinsip ini harus dipegang oleh para penghayat Paguyuban Satu Jati. Kepercayaan ini dapat hilang karena belum mengandung kebenaran ilmiah. Tuhan itu adalah Maha Ilmiah dan Maha Gaib, tapi karena Gaib inilah ilmu pengetahuan tidak dapat menjangkau atau membuktikannya (Atmodjo, tt-b: 2).

Di dalam Kitab Piati, Tuhan menurunkan kebenaran akan dirinya melalui pengertian yang disabdakan dalam kata dan kalimat yang jelas dan sederhana. Selain itu, di dalamnya pun ada tuntunan bagaimana seseorang dalam kontak langsung dengan Tuhan dalam proses manembah (manunggal dengan Allah). Penyebutan istilah Tuhan sebagai Sumber Hidup atau Daya Hidup dalam Kitab Piati sama dengan yang disebutkan oleh Basuki (2015: 25) di dalam bukunya. Tuhan merupakan Pemberi Hidup yang menghidupi manusia dan makhluk lainnya yang ada di alam semesta. Hidup manusia ini kekal dan tidak berakhir hanya pada proses kelahiran sampai kematian saja. Tujuan dari hidup manusia adalah untuk kembali pada Sumber Hidup, yaitu Tuhan.

Paguyuban Satu Jati juga menyebutkan bahwa tuntunan tertinggi bagi manusia adalah bisa bersatu atau bersejati dengan Tuhannya. Manusia harus kembali pada Tuhan supaya bisa mengerti bahwa Tuhan itu ada. Bukan hanya sekedar percaya, tapi harus mengerti, yaitu mengakui dan membuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Keyakinan ini sesuai dengan salah satu dari ciri pokok penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang disampaikan oleh Basuki, yaitu adanya keyakinan terhadap Tuhan (Basuki, 2015: 33).

Paguyuban Satu Jati mengakui adanya Tuhan YME dan pengakuan inilah yang menimbulkan keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, yang artinya Tuhan adalah Sumber Hidup atau Daya Hidup. Tuhan dalam Paguyuban Satu Jati disebut juga dengan kata Sejati. Sejati ini maknanya adalah sesuatu yang sifatnya ada di atas nyata. Yang nyata itu adalah manusia, sehingga yang ada di atasnya nyata itu adalah Tuhan yang sejati. Ilmu pengetahuan manusia tidak akan dapat menjangkau dan menjelaskan tentang Tuhan, yang Sejati. Oleh karena itu, dalam Paguyuban Esa Tunggal Sejati ada Ilmu Sunyata Sejati yang digunakan untuk memahami tentang Tuhan YME. Adanya pengakuan kesejatian Tuhan, menganggap bahwa Tuhan itu benar, dan meyakini keberadaannya merupakan pengertian kepercayaan terhadap Tuhan YME secara etimologi (Basuki, 2015: 28). Dengan demikian, konsep Tuhan dalam Paguyuban Esa Tunggal Sejati pun sama dengan dengan konsep kepercayaan terhadap Tuhan YME secara umum.

 Baca Juga :

TUTORIAL SATOSHI BTC SECOND PROJECT

Konsep tentang Manusia


Jika Tuhan disebut sebagai DAYA HIDUP, maka daya hidup manusia adalah “Roh,
Nyawa, atau Suksma”. Roh ini adalah bagian dari Sang Hidup, yaitu Sang Pencipta. Manusia dapat hidup karena dihidupi oleh Sang Maha Hidup. Daya Hidup ini menghidupi manusia dan menimbulkan dua unsur, yaitu daya pikir dan rasa. Daya pikir ini berada di lingkungan otak sedangkan rasa berada di lingkungan hati (Hartono, 1983: 9). Daya pikir ini meliputi angan-angan, cipta, dll, sedangkan rasa ini meliputi perasaan dan emosi.

Pertemuan antara daya pikir (P) dan daya rasa (R) akan menimbulkan sebuah kebijaksanaan, perilaku nafsu, yang kesemuanya merupakan kehendak atau karsa (K) yang hidup. Manusia dalam menghayati kehendaknya kadang tidak menyadari adanya peran Tuhan atau Daya Hidup. Padahal, Tuhan inilah yang menguasai seluruh tubuh manusia dan menjadi daya penggerak. Tanpa disadari, manusia akan sulit mengerti bahwa di dalam dirinya terdapat pribadi yang lebih tinggi darinya (Hartono, 1983: 9).

Perpaduan pikir, rasa, dan karsa akan menghasilkan perilaku, penyampaian keinginan, nafsu, tingkah rasional maupun emosional (baik dan buruk). Karsa-lah yang mengolah pertemuan antara rasa dan pikir ini dan hal ini terjadi dalam keadaan sadar manusia. Manusia juga dapat mengalami Titik Hening, dimana manusia berada dalam alam bawah sadarnya. Di dalam keadaan ini manusia akan terlepas dari pengaruh pikir dan perasaannya sendiri dan keadaan bawah sadar ini sulit untuk dibuktikan melalui akal. Titik hening (bawah sadar) dapat dikatakan juga sebagai “Titik Kesucian” karena pada titik ini tidak ada lagi nafsu, pikir, maupun perasaan.

Di dalam titik kesucian inilah para Nabi dapat menerima wahyu. Wahyu diterima dalam keadaan bawah sadar dan suci, namun bawah sadar ini bukan berarti tidur. Orang yang berada di bawah sadar masih mampu menceritakan pengalaman-pengalaman yang dialaminya saat berada di alam tersebut (Hartono, 1983: 10). Manusia dalam hidupnya harus mengamalkan dan menjaga nilai-nilai moral yang terkandung dalam hubungan antara manusia dan juga dengan sesama makhluk yang diciptakan Tuhan YME. Jadi, manusia itu merupakan makhluk indivdu dan juga makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu dan sosial tidak dapat dipisahkan dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu warga Paguyuban Satu Jati harus berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. saling menghormati sesama umat,

2. hidup gotong royong,

3. menjaga ketertiban paguyuban dan umum,

4. menghormati semua agama,

5. saling kasih-mengkasihi sesama warga/umat, dan tidak berbuat yang merugikan orang lain.

Konsep manusia pada ajaran Paguyuban Esa Tunggal Sejati sejalan dengan konsep manusia yang dituliskan oleh Basuki. Di dalam Kitab Piati disebutkan bahwa manusia adalah bagian dari Sang Pencipta. Manusia dihidupi oleh Sang Maha Hidup dan dibekali dua unsur, yaitu daya pikir dan daya rasa. Perpaduan dua daya ini diolah oleh kehendak atau karsa menjadi perilaku. Perilaku inilah yang termanifestasi dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Manusia yang merupakan bagian dari Sang Pencipta, berarti manusia merupakan makhluk individu yang berhubungan dengan Tuhan YME sebagai penciptanya. Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan ini oleh Basuki disebut berada dalam dimensi vertikal (Basuki, 2015: 19).

Manusia juga berperan sebagai makhluk sosial dan hal ini sesuai dengan konsep yang ditulis oleh Basuki, yaitu manusia berada di dalam dimensi horisontal. Manusia harus selalu menjaga keseimbangan antara dua dimensi tersebut. Manusia sebagai makhluk paling mulia, dibekali oleh Tuhan berupa daya pikir, rasa, dan karsa. Oleh karena itu, manusia harus berusaha untuk menjaga hubungan dengan sesamammaupun dengan makhluk lain yang ada di alam semesta ini. Dalam bergaul, manusia harus memperhatikan prinsip-prinsip salah satunya adalah dengan saling menghormati dan tidak menyakiti sesama. Dengan demikian, persaudaraan antarsesama manusia atas dasar cinta kasih pun dapat tercapai, seperti sikap yang seharusnya tercermin dari seorang penghayat kepercayaan (Basuki, 2015: 57)

Manembah

Manembah merupakan perbuatan nyata dari seseorang dalam dirinya untuk bersembah kepada Tuhan (Atmodjo, tt-d: 1). Manembah ini dilakukan dengan cara membaca syahadat Paguyuban Satu Jati serta melakukan penyerahan pasca bersyahadat. Manembah juga diartikan sebagai perwujudan dari patrap sujud seseorang dalam berpakarti kepada Tuhan. Syahadat Paguyuban Satu Jati berbunyi

“Allah itu ada, yang hidup

atas Maha Kuasa-Nya, dialah satu Yang Esa serta Sempurna, maka hanya kepada-Nya lah aku

bertuntun Sabda, serta kepada-Nya pula aku Berbakti dan Manembah Allah”.


Pasca membaca syahadat para warga penghayat melepaskan semua kehendak dan nafsu kemanusiaan untuk menuju pada ke-Agung-an Tuhan, untuk bertunggal kepada Tuhan dan kemudian memasrahkan diri. Pada peristiwa kepasrahan penyerahan diri inilah manusia merasa hidup tanpa pamrih karena manunggal ke dalam Esa Sejati atau Sang Satu Jati. Suasana inilah yang disebut dengan manembah. Praktik ini membutuhkan latihan-latihan kejiwaan supaya bisa berhasil ber-manunggal dengan yang Sejati. Di dalam Kitab Piati sabda yang menunjukkan perintah untuk manembah ada pada Sabda Suksma yang berbunyi sebagai berikut (Hartono, 1983: 8):

Sabda Suksma :

Hai manusia

Datanglah padaku segera

Telah kutunjukkan jalan Satu

Yang sempurna dan bermujizadYaitu Ngasuksma

Bersejati merupakan bahasa lain dari proses manembah. Bersejati merupakan bagian terpenting dalam Piati karena ada sujud manembah langsung di dalamnya, tanpa nyanyian maupun doa. Dalam manembah langsung ini seseorang dapat menerima tuntuntan berupa sabda-sabda dari yang Sejati. Bila seseorang telah mendapatkan sabda-sabda ini, maka ini merupakan tuntunan yang tertinggi dan dengan demikian dia sudah dapat mengerti adanya Tuhan, dan membuktikan bahwa Tuhan itu ada (Hartono, 1983: 5 – 7).

Inti dari Piati adalah supaya manusia dapat bertemu, kemudian manunggal dengan Tuhannya, serta memperoleh tuntunan-Nya. Jika manusia selalu bersama Tuhan, maka apapun yang akan dilakukan hendaknya selalu dalam ridlo-Nya, dan segala yang diterima manusia adalah anugerah-Nya (Hartono, 1983: 7). 

Ngasuksma dan manembah sebenarnya memiliki makna yang sama hanya saja ngasuksma terkesan lebih bermanunggal dengan Tuhan daripada manembah. Di dalam kata manembah seolah-olah terkesan masih ada jarak antara yang disembah dengan Sang Panembah. Kalau dalam ngasuksma terkesan bahwa anusia sudah menjadi satu dengan suksma, telah manunggal dengan Tuhan (Hartono, 1983: 8).

Konsep ketiga yang terdapat dalam Kitab Pagelaran Hidup adalah manembah atau bersejati atau ngasuksma. Konsep ini berarti bersatunya manusia dengan Sang Pencipta, atau manunnggaling kawulo gusti. Sikap manembah ini menurut Basuki (2015: 55) selalu ada di dalam setiap organisasi penghayat kepercayaan. Namun, tiap organisasi bisa berbeda-beda bentuk atau cara melakukannya. Manembah secara umum merupakan penyerahan diri kepada Tuhan YME dengan kesadaran total setelah menghayati adanya Daya Hidup. Manembah menurut Paguyuban Satu Jati juga merupakan penyerahan diri untuk bemanunggal kepada Tuhan YME. Pada Paguyuban Satu Jati, manembah dilakukan pasca warga penghayat bersyahadat.

Manembah ini dilakukan dengan menggunakan dasar adanya Sabda Suksma di dalam Kitab Piati. Maka dari itu, manembah juga disebut dengan istilah ngasuksma. Istilah ini dianggap lebih mengena karena saat proses penyerahan diri manusia atau suksma kepada Tuhan sudah tidak ada lagi jarak. Kalau manembah masih menunjukkan adanya jarak antara yang menyembah dan Sang Panembah. Di dalam kemanunggalannya manusia dengan Tuhan, manusia akan mengenal proses menuju kedewasaan yang utuh, berbudi pekerti luhur, dan mampu menghadapi tantangan dan cobaan (Basuki, 2015: 108).

Inti dari Piati adalah manusia dapat bertemu kemudian manunggal dengan Tuhannya. Jika manusia sudah bermanunggal dengan Tuhan, dia akan mendapatkan sabda-sabda langsung dari Tuhan, dan inilah tuntunan tertinggi yang harus dicapai manusia dalam ajaran Piati.



Sebagai penulis sangat banyak terima kasih su
dah di berikan pengantar memuncakkan jiwa kesadaran meskipun waktu itu masih memiliki jiwa muda yang belum tahu betul apa makna di balik itu semua, butuh pemahaman yang dalam untuk di mengerti.

TerimaKasih

 


Mengenang Pendiri paguyuban, Sri Mulyono Hartono