Iwan Pertama | Sanghyang Urip adalah permulaan pertama. Tidak ada yang bisa dituturkan dan digambarkan dari Sanghyang Urip. Dia sempurna sesempurna-sempurnanya. Dia melampaui segala-galanya. Dia sumber segala kehidupan. Dia tidak bisa ditunjuk kediaman-Nya, tidak berarah dan tidak bertempat. Segala tempat tercakup pada diri-Nya. Bukan surga yang Dia diami. Melainkan surga yang berada pada diri-Nya.
Ketika
Sanghyang Urip berkehendak mencipta, terguncanglah keseimbangan total,
mempersempit diri Sanghyang Urip sehingga bisa dikenali pakarti
(aktifitas)-Nya. Dia dikenal sebagai Sanghyang Magawe Urip, Dia yang
mencipta kehidupan semesta. Bersamaan dengan terguncangnya keseimbangan,
muncul bayangan hitam Sanghyang Urip. Bayangan ini adalah Sanghyang
Waranajati atau tabir kesejatian. Yang menabiri hekekat Sanghyang Urip.
Guncangan
kedua berlaku. Sanghyang Magawe Urip semakin mempersempit diri-Nya,
siap menjadi intisari kehidupan seluruh makhluk. Dia lantas dikenali
sebagai Sanghyang Hanguripi, Dia yang menjadi intisari hidup makhluk.
Bersamaan dengan guncangan kedua, maka terlahir pula dari Sanghyang
Waranajati bahan-bahan untuk penciptaan semesta, di sebut Sanghyang
Bintulu. Dari Sanghyang Bintulu unsur materi semesta berasal :
awang-awang (eter), angin, gêni (api), banyu (air) dan lêmah (tanah).
Sanghyang
Hanguripi juga dikenal sebagai Sanghyang Bapantajati atau Sanghyang
Halu. Sanghyang Bintulu juga dikenal sebagai Sanghyang Ibuntajati atau
Sanghyang Kalumpang. Sanghyang Urip - Sanghyang Magawe Urip - Sanghyang
Hanguripi, ketiganya adalah tunggal.
Dan
Sanghyang Halu identik dengan sisi maskulin Ilahi. Oleh manusia Jawa
diwujudkan dalam benda yang disebut Alu, yaitu benda berbentuk silindris
panjang, replika dari kemaluan lelaki yang mewakili unsur maskulin.
Sanghyang Kalumpang identik dengan sisi feminin Illahi. Oleh manusia
Jawa diwujudkan dalam benda yang disebut Lumpang, yaitu benda berlobang,
replika dari kemaluan wanita yang mewakili unsur feminin. Alu dan
Lumpang, sepasang benda yang tidak terpisahkan. Biasanya digunakan untuk
menghaluskan bahan makanan dengan cara memasukkannya ke dalam lobang
Lumpang untuk kemudian ditumbuk dengan mempergunakan Alu. Proses
menumbuk ini sebenarnya juga meniru proses terbentuknya semesta dimana
Sanghyang Halu melakukan tumbukan-tumbukan energi dahsyat mengarah ke
rongga Sanghyang Kalumpang. Dari tumbukan energi tersebut terciptalah
semesta secara berangsur-angsur. Penciptaan semesta ini sepenuhnya
terjadi dari tumbukan Sanghyang Halu kepada Sanghyang Kalumpang.
Tumbukan Sanghyang Bapantajati kepada Sanghyang Ibuntajati. Tumbukan
Sanghyang Hanguripi kepada Sanghyang Bintulu. Dan dari rahim Sanghyang
Kalumpang, Sanghyang Ibuntajati, Sanghyang Bintulu terlahirlah semesta
yang mengagumkan ini.
Sanghyang
Bintulu sendiri bemakna dualitas, yaitu dua unsur yang berpasangan,
yang saling berbeda kutub. Tinggi-rendah, panas-dingin, terang-gelap,
merupakan unsur utama dari Sanghyang Bintulu. Dikemudian hari seiring
semakin berkembangnya semesta membabar varian dualitas : suka-duka,
kaya-miskin, sehat-sakit, tampan-buruk dan sebagainya. Kain Bintulu
sendiri masih kerap dipakai di Bali sebagai kain yang memiliki makna
simbolik sebagai pengingat bahwa dunia ini berisikan dualitas.
Rwa-bhineda, demikian dalam istilah Jawa Kawi disebutkan. Rwa artinya
dua hal, bhineda artinya yang berbeda namun saling melengkapi. Kain
Bintulu juga dikenal sebagai kain poleng. Memuat warna hitam putih
secara lugas. Putih mewakili kutub terang, hitam mewakili kutub gelap.
Dan demikianlah isi dunia, berisikan rwa-bhineda.
Dari
tumbukan awal Sanghyang Halu kepada Sanghyang Bintulu memerciklah
Sanghyang Adiyitma sebagai daya hidup awal seluruh makhluk. Sanghyang
Adiyitma adalah Ruh Awal, cikal bakal Ruh seluruh makhluk. Terpecik dari
diri Sanghyang Halu sendiri. Merupakan bagian tak terpisahkan dari
Sanghyang Halu.
Lantas
tumbukan kedua dari Sanghyang Halu memercik tiga karakteristik vital
bahan material semesta, yaitu karakteristik stabil dan tenang,
karakteristik agresif dan dinamis serta karakteristik lebam dan pasif.
Karakteristik stabil dan tenang disebut Manikmaya. Karakteristik agresif
dan dinamis disebut Ismaya sedangkan karakteristik lebam dan pasif
disebut Antaga.
Pada kasanah Jawa Baru, jejak-jejak pengetahuan asli Jawa ini masih tetap ada dalam pakem pewayangan Jawa :
1. Sanghyang Urip dipersonifikasikan sebagai Sanghyang Nurcahya.
2. Sanghyang Magawe Urip dipersonifikasikan sebagai Sanghyang Nurasa
3. Sanghyang Hanguripi dipersonifikasikan sebagai Sanghyang Wênang
4. Sanghyang Adiyitma dipersonifikasikan sebagai Sanghyang Tunggal
5.
Tiga karakteristik utama semesta, yaitu “stabil-dinamis-pasif”
dipersonifikasikan sebagai Bhatara Manikmaya, Bhatara Ismaya dan Bathara
Antaga.
Sigêg.
#KiAjarJawadipa.
#IwanPertama
#Patembayan
#Jawadipa
#CantrikPakuan
#Patembayan
#Jawadipa
#CantrikPakuan
0 komentar:
Posting Komentar